Biografi Tokoh Agama




Seperti biasa rutinitas setiap jum’at subuh, dipondok pesantren akan diadakan perkumpulan para santri bersama Murobbi , dan pada saat itu Murobbi bercerita tentang biografi guru beliau, yakni K.H.R. As’ad Syamsul Arifin.
Kelahiran Kiai As'ad lahir di Syi'ib Ali, Mekah pada tahun 1897 M/1315 H. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura. Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman. Ia dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus. Mengingat kiai as’ad yang dilahirkan dari keturunan bangsawan, memang sangat jauh berbeda dengan murobbi yang dilahirkan dari rakyat biasa dan hanya seorang petani. Aku teringat pada pepatah kalau kesuksesan tidak melihat pada nasabnya, melainkan pada keistiqomahan dari orang itu sendiri. 
 Murobbi masih melanjutkan ceritanya, aku bergegas menghalau lamunanku pada masa kecil murobbi ,pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus. Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana. Murobbi beralih menceritakan perjuangan sang guru dalam menuntut ilmu.
 Mengarungi Samudra Ilmu
Kiai Syamsul terbilang lama mengembara. Sejak usia 12 tahun, Kiai Syamsul sudah mengembara dari pesantren ke pesantren. Pondok pesantren kali pertama dituju adalah Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Dipondok pesantren Sidogiri inilah  Kiai Syamsul menimpa ilmu hingga mengabdi sebagai ustadz. Sekian tahun di Sidogiri, Kiai Syamsul pindah ke Ponpes Langitan, Tuban. Setelah itu di Pesantren Bangkalan di bawah asuhan langsung Syechona Kholil. Kemudian mondok ke Mekkah bersama putra mahkota Pondok Sidogiri, Kiai Nawawi.Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.
Guru-gurunya :
Syeikh Abbas al-Maliki
Syeikh Hasan al-Yamani
Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi
Syeikh Hasan al-Massad
Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta)
Syeikh Syarif as-Sinqithi
Lagi-lagi aku teringat pada Murobbi, ya! beliau juga suka berpindah-pindah pondok untuk mendalami ilmu yang beliau kaji, ada beberapa nama guru yang pernah mengajarkan beliau, namun sayangnya aku lupa untuk mengingat satu per satunya. Aku kembali fokus pada cerita murobbi,karena jika tidak fokus aku termasuk orang yang merugi karena tidak mengetahui sejarah dari gurunya guruku.
Pada tahun 1924, setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As'ad kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As'ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai.
Kiai As'ad mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.

Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.
Akhir Hayat
Beliau wafat di usia ke-93 pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Jabatan terakhir di PBNU adalah Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar NU. Meskipun Kiai As'ad telah meninggal, namun dawuh (nasihat) maupun perkataannya masih melekat dan diikuti oleh para santri dan pencintanya. Di antara wasiat (pesan) Kiai As'ad yang pernah ia sampaikan kepada para santrinya ialah:
-Santri Sukorejo yang keluar dari NU (Nahdlatul Ulama), jangan berharap berkumpul dengan saya di akhirat.
-Santri saya yang pendiriannya tidak dengan saya, saya tidak bertanggung jawab di hadirat Allah SWT (Subhanahu Wa Ta'ala).
-Santri saya yang pulang atau berhenti harus ikut mengurusi dan memikirkan paling tidak salah satu dari tiga hal, yakni: Pendidikan Islam, dakwah melalui NU dan ekonomi masyarakat.
-Istiqamah (terus menerus) membaca Ratibul Haddad.
-Santri saya sebenarnya umum, anak siapa saja, dalam keadaan bagaimana saja, pasti selamat dan jaya asal jujur, giat dan ikhlas.
Mendengar dawuh dari sang guru, membuat aku yakin kalau segala peraturan dan kegiatan yang ada di sini adalah tiruan atau sebagai penerus dari sang guru, mungkin murobbi berharap semua santri beliau juga dapat diakui sebagai santrinya sang guru besar K.H.R. As’ad Syamsul Arifin.
Aku kembali melihat murobbi yang sekarang telah berkaca-kaca karena mengingat kehidupan sang guru dimasa lalu, ingin selalu mengenang jasa dan perjuangan sang guru dengan cara menceritakan kisah atau biografi sang guru pada santri-santrinya. Di akhir cerita beliau berpesan agar seluruh  santri dapat mengenali dan memahami tentang nasab gurunya, berharap para santri mengetahui minimal 3 nasab dari guru ke guru beserta asal usul atau biografi dari guru itu sendiri.
Cerita pun selesai, dan waktu pun telah memasuki jam 06:20 pertanda perkumpulan santri telah usai, dan harus bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.